Menjalin hubungan baik dengan siapapun adalah salah satu tugas manusia selama ia hidup di dunia. Sebagai makhluk sosial, manusia juga membutuhkan kehadiran orang lain dalam kehidupannya. Manusia membutuhkan kasih sayang, perhatian, rasa saling peduli dan bentuk-bentuk perasaan lain yang diberikan oleh sesamanya.
Memiliki teman, sahabat, kekasih, suami, istri, tetangga, bahkan musuh sekalipun adalah salah satu bukti bahwa manusia berinteraksi dengan sesamanya. Kehidupan kita sebagai manusia penuh dengan berbagai hal. Hal-hal itu pada akhirnya hanya menawarkan dua “macam” perasaan. Perasaan sedih dan senang.
Selain kedua orangtua, jika ditanya mengani siapa orang disekitar kita yang bisa menemani disaat kedua perasaan itu tengah dialami jawabannya pasti sahabat. Tidak ada definisi pasti tentang sahabat. Sahabat adalah salah satu “benda” abstrak yang ada di sekitar kita. Satu hal yang pasti adalah kita bisa berbagi apapun dengannya.
Di tengah keterbatasannya, sahabat akan bersedia selalu ada untuk kita. Menyediakan apapun yang dia mampu. Tanpa memikirkan apa yang akan dia dapat dari itu semua. Sahabat ibarat saudara kandung yang tetapi tidak dilahirkan dari wanita yang sama. Ia mencintai kita layaknya ibu dan ayah. Ketika terjadi hal yang buruk pada kita, sahabat adalah orang ketiga yang akan menangis setelah ayah dan ibu.
Sahabat bisa menjadi tongkat penopang di saat kita sudah tidak kuat lagi berjalan. Ia bersedia meminjamkan tangannya ketika kita sudah tidak kuat lagi menggenggam sesuatu. Sahabat tidak akan keberatan jika harus menunggu dalam waktu yang cukup lama. Di saat kita ragu, sahabat justru akan terus menyemangati dan tersenyum yakin bahwa keragu-raguan itu tidak lebih dari sekadar perasaan lapar yang nanti akan hilang jika sudah makan.
Sahabat memang salah satu orang baik yang dikirimkan Tuhan untuk kita. Tapi sahabat yang baik adalah sahabat yang justru tidak selalu membenarkan apa yang kita katakan dan apa yang kita lakukan. Sahabat tidak harus selalu memuji dan satu pendapat. Sahabat adalah pengontrol emosi dalam jiwa kita.
Ia harus berani mengatakan tidak untuk suatu hal yang memang tidak baik untuk kita. Sekali waktu, sahabat bisa menjadi seperti alkohol yang terkandung dalam minyak wangi. Jika dioleskan pada luka akan perih tapi kemudian luka akan sembuh dengan cepat.
Sahabat sudah seperti juri di perlombaan menyanyi. Mengkritik dengan pedas dan menusuk tapi maksdu dibalik itu sangatlah baik. Juri-juri itu tidak ingin penyanyi-penyanyi di ajang pencarian bakat tersebut memiliki kualitas yang buruk. Begitupun dengan sahabat. Ia tidak ingin kekurangan serta kesalahan kita menjadi bahan cemooh bagi orang lain.
Sahabat juga seperti alarm. Ia akan mengingatkan saat kita lupa, lalai atau terlalu lelap tidur. Ia juga bisa bersikap seperti aktor film komedi yang dapat membuat kita tertawa saat kita tengah sedih. Mendengarkan keluh kesah seperti psikolog saat kita tengah gundah, dan bertingkah seperti konsultan saat kita membutuhkan masukan.
Cerita kemuliaan sahabat bahkan sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad memiliki sahabat-sahabat yang selalu siap sedia berdiri di samping kiri dan kanan, depan serta belakang. Para sahabat tersebut membantu Nabi Muhammad sawdalam memperjuangkan ajaran agama Islam. Mereka adalah golongan orang selanjutnya yang meyakini Islam setelah Nabi Muhammad saw.