Cinta adalah bahasa universal. Setidaknya itulah yang dapat kita petik dari satu kata “cinta”. Beberapa filsuf menganggap cinta sebagai sebuah landasan untuk kedamaian hidup.
Namun, apabila kita menganggap bahwa cinta hanya mengenai cerita dua orang yang kasmaran, maka kita harus membuka pikiran yang selebar-lebarnya, karena, mungkin itu bukan sesuatu yang salah, akan tetapi pandangan tersebut terlalu sempit.
Hal pertama yang dapat kita dapat dari “cinta” adalah antara kita dengan Sang Pencipta. Ajaran agama apapun yang ada di dunia ini mengajarkan bahwa menunjukkan cinta kita kepada-Nya adalah suatu pertanggungjawaban kita atas jasa-jasa-Nya terhadap kita sebagai manusia yang dikaruniai hidup di dunia.
Cinta dalam hal ini adalah bersyukur. Dengan selalu bersyukur atas apa yang telah kita dapat, maka kita telah menunjukkan rasa cinta kita terhadap-Nya serta telah mempertanggungjawabkan apa yang telah dipercayakan kepada kita.
Cinta yang kedua adalah kepada sesama manusia. Apabila kita membahas tentang obyek diskusi yang satu ini, maka artikel ini tidak akan cukup untuk memuatnya.
Namun, secara garis besar, cinta terhadap sesama manusia dapat berarti bahwa kita selalu menghormati, menghargai, memberikan kebebasan kepada orang lain. Dengan menghormati hak-hak mereka sebagai manusia (hak asasi manusia), maka kita telah menunjukkan cinta kita terhadap sesama manusia.
Cinta terhadap negara, itu adalah hal ketiga yang dapat kita petik dari satu kata cinta. Negara di mana kita dilahirkan, dibesarkan atau mungkin tempat di mana kita akan dikuburkan nanti merupakan suatu hal yang harus kita sayangi.
Ada peribahasa mengatakan bahwa lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang. Kita dapat mengambil makna dari peribahasa tersebut bahwa apapun yang terjadi di negeri kita ini lebih baik daripada apa yang terjadi di negeri orang.
Kalaupun jaman sekarang banyak orang yang luntur rasa nasionalismenya, itu lebih kepada karena mereka tidak paham mengenai arti sebuah tumpah darah. Maka dari itu, memupuk rasa nasionalisme merupakan wujud cinta kita kepada negeri kita ini.
Cinta kasih kita kepada lingkungan. Dalam kurun waktu belakangan ini, kita selalu saja dihantui ancaman akan terjadinya “Global Warming”. Itu sangat-sangat mencemaskan karena global warming mengancam kelangsungan hidup kita sebagai manusia.
Jadi, dimana wujud cinta kita terhadap lingkungan selama ini? “Tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik”, dengan berpegang pada pedoman di atas, maka tidak ada salahnya apabila kita mulai memperhatikan apa yang terjadi dengan lingkungan kita.
Untuk mengaplikasikan hal itu, kita tidak harus melakukan hal besar, cukup dengan membuang sampah pada tempatnya, gunakan air serta energi yang lain seperlunya dan kurangi emisi dengan gaya hidup alami, kita telah membantu bumi kita ini terbebas dari ancaman Global Warming.
Hal yang kelima adalah cinta keluarga. Selama ini kita berpikir bahwa cara menunjukkan cinta dan perhatian terhadap keluarga adalah dengan cara membanjiri mereka dengan materi. Menurut pakar ilmu keluarga, apa yang kita lakukan itu kurang tepat. Mungkin benar kita hidup di dunia ini membutuhkan materi untuk hidup, namun bukan berarti kita hidup untuk materi.
Menurut mereka, apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh keluarga kita adalah perhatian, kasih sayang serta keakraban. Lalu, di mana posisi materi? Uang adalah sebagai pendukung untuk dapat menjalin hal-hal tersebut.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa dengan cinta dan kasih sayang, perhatian serta rasa kekeluargaan yang didukung dengan unsur finansial, suasana keluarga sebagai tempat ideal akan tercapai.
Menilik berbagai hal di atas, dapat kita simpulkan bahwa cinta memang sebuah landasan hidup. Dengan cinta kita dapat mengobati yang sakit, dengan cinta kita dapat berbagi, dengan cinta kita dapat membangun suatu kondisi yang ideal, baik dalam hidup berumahtangga, bermasyarakat ataupun bernegara.